MASIH BANYAK IKAN DI LAUT!

           
        Masih lanjutan Cerita Kapal Suku Bajo. Jolloro yang sudah diturunin ke laut selama sehari semalam akhirnya bisa digunakan juga. Seharusnya kami gunakan kapal yang sama dengan yang kami ikuti proses pembuatannya, tapi karena satu dan lain hal akhirnya kami pakai jolloro lain dengan pemilik berbeda.
      
       Subuh-subuh banget kita mau cari ikan, karena kalo siang dikit kapal bakal kandas dan gabisa melaut. Jadi, kita janjian sama dua orang nelayan, we agreed that maksimal jam 05 WITA udah di dermaga and ready to go. Singkat cerita, rombongan tim liputan siapnya jam 05 lewat 15 deh kalo ga salah, dan ternyata kita gabisa langsung melaut karena salah satu nelayan yang namanya Pak Ambo belum nongol juga. Temen-temen Taman Nasional Taka Bonerate a.k.a TNBT (which are our PIC in that island) juga sibuk nyariin, mereka tanyain ke rumah-rumah saudara-saudaranya Pak Ambo. We couldn't make a call karena memang ga ada sinyal sama sekali. Semua udah panik tuh karena sudah semakin teraaang dan pantai mulai surut, Fellas. Sementara kapal ga bisa dioperasiin kalau nelayannya cuma satu, idealnya ada dua nahkoda biar saling gantian dan salah satu jadi navigator.
 
        Pagi-pagi buta udah ada drama aja, sebel banget, raut muka kita pun udah pada kusut. Tiba-tiba Pak Ambo nongol gitu aja dengan santay seperti tak bersalah. And then he apologized karena bangun kesiangan dengan alasan semalem dia habis bantuin adiknya beres-beres rumah. Wadaaw…. Si orang TNBT-nya pun ngomelin dia and said “kalau sekiranya Pak Ambo ga sanggup tolong bilang dari semalam, jadi kita bisa cari nelayan lain. Ini untuk acara suting Pak, udah ga ada waktu lagi..” kurang lebih seperti itulah, karena memang agenda kita di pulau itu lumayan padat dengan waktu yang singkat. 


Bapak-bapak ini adalah Pak Ambo! Photo by: Detik.com

Okaay… Kami semua akhirnya siap berangkat jam 07 bersama Pak Ambo. Kondisi pantai sudah surut dan kapal tentu sudah kandas, kira-kira sepinggang orang dewasa. Mau gamau kapal pun didorong oleh dua nelayan itu ke tengah laut yang airnya lumayan dalem. Jaraknya sekitar 100 meter dari dermaga. Lalu, bagaimana dengan nasib tim….? Supaya bisa sampai di kapal, kami mau ga mau naik busa styrofoam yang luasnya cuma 1x2 meteran. Ngeri-ngeri sedaappp karena kalo ga seimbang pasti oleng dan nyemplung, sementara kita bawa barang dan alat-alat syuting yang mahal-mahal kantor punya. Demi efisiensi waktu kita nyebrangnya bertiga-bertiga, so harus hati-hati banget.


Penyebrangan pake styrofoam mau ke jolloro. Depan Mas Andy TNBT, tengah Ncang camera person kita, belakang yang lagi dadah itu Finda Andrian host program kita. Photo by droner: Ibnu Khoirul Fajar

Sampailah kita semua di jolloro dengan selamat, langsung tancap gas ke spot yang biasa buat nyari ikan. Sampai di spot kurang lebih jam 09, WKWKWK ikan-ikan dah pada ngilang tentunyaaa. Ikan suka main di permukaan pagi-pagi banget pas air laut masih dingin, jadi kalau matahari udah naik, air laut mulai terasa panas dan ikan pun sudah berenang ke laut yang lebih dalam. Namanya juga syuting, kita masih usaha nebar jaring buat kepentingan gambar sambil berharap masih ada ikan yang nyangkut. Kenapa? karena ya masih banyak ikan di laut!


Sistem cari ikannya cukup sederhana, kalau di sana disebutnya teknik samba. Jadi, tiap jolloro punya perahu sampan, fungsinya untuk menarik pukat/jaring. Sementara kapal besar diam, sampan itu didayung sambil menebar jaring hingga membentuk lingkarang. Panjang jaringnya sekitar 60 meter. Jaring ditebar membentuk lingkaran, ditarik sampai sampai ukurannya semakin kecil, mengecil, mengecil, hingga ikan-ikan pada ngumpul di tengah lingkaran itu. Dan tadaaa.. hasilnya nihil guis, karena kita kesiangan, jadi udah gak ada ikannya dalem jaring awowkwk.

 

Pulau Rajuni, foto by: NetGeo Indonesia


        Kita gak dapet ikan sama sekali. Zonkyyyyy!! But then we try again, kita coba nebar jaring lagi untuk yang kedua kali. Durasi nebar dan narik jaring sepanjang itu tentu tidak sebentar ya, lumayan makan waktu. Aslinya biar makin lama makin banyak ikan yang kejebak. Nah setelah percobaan kedua, akhirnya dapet sih ikannya... tapi cuma satu ekor. Ukuran gedeee banget, panjangnya kurang lebih 40 cm dengan berat sekitar 5 kg, namanya Ikan Katamba. Hari semakin siang but the show must go on, jadi satu-satunya ikan hasil tangkapan kami hari itu tetap kita pakai untuk liputan selanjutnya. Apa liputan selanjutnya? Adalah masak hidangan lokal. Lanjut ke next blog ya, Fellas.

CERITA KAPAL SUKU BAJO

Photo isn't mine, but that is how the Rajuni boatbuilding goes.

Jolloro in the making

  "Nenek moyangku seorang pelaut... Gemar mengarung luas samudra..." #YouSingYouLose he he. Kutipan lirik lagu itu menurut Aku cocok banget buat gambarin kehidupan masyarakat Suku Bajau alias Bajo, salah satu suku di Indonesia yang bisa dibilang hidupnya bergantung pada laut. Profesinya nelayan, nyari makan dari laut, tinggal pun di laut, pokoknya mencari nafkah di laut deh. Makanya, masyarakat sana masing-masing punya kapal minimal satu unit, untuk mencari ikan atau sekedar sebagai alat transportasi. Sebutan kapal kayu yang cukup besar di sana adalah jolloro. 

    Suku Bajo membuat jolloronya sendiri, tanpa sketsa, bahkan ukuran panjang, lebar, dan tebal kayunya pakai ilmu kira-kira. Uniknya, hasilnya tetep bagus dan seimbang, jadi kalau dibawa ke laut tuh gak oleng alias tetep stabil. Udah insting orang laut kali ya, jadi akurat-akurat aja. Nah, sebagian masyarakat membuat kapal untuk dipakai sendiri, ada juga yang untuk dijual. Bahan kayunya tentu dipilih yang paling kuat dan anti rapuh walaupun berada di air laut bertahun-tahun. Waktu itu Aku tanya ke nelayan, mereka lagi pakai kayu Kalimantan. Gitu sih katanya~
            
    Nah, dibuatnya secara teliti tahap per tahap, mulai dari tulang (satu kayu balok panjang sebagai titik dasar keseimbangan kapal, terletak di bagian tengah), sampai ke sayap dan badan kapal. Yaa kurang lebih seperti di gambar. Meski sudah ada beberapa mesin penghalus dan pemotong yang dipakai, tapi secara keseluruhan proses pembuatannya masih sederhana. Lama proses bikin kapal, tentu tergantung dari rajin-tidaknya si pembuat. Kalau tiap hari pasti lebih cepet, tapi ya mereka jarang bikin tiap hari karena pada sibuk melaut. Satu jolloro dibuat oleh 2-3 orang, bahkan ada yang percaya diri bikin sendiri. 


Tradisi Turun Kapal

    Kapal menjadi sangat penting bagi kehidupan mereka, jadi setiap kapal harus diperlakukan dengan baik supaya tidak mendatangkan musibah. Mau kapal besar, kapal kecil, perahu, semua perlakuannya sama. Mereka pun punya tradisi "selametan" sebelum kapal menyentuh air laut untuk pertama kalinya. Nah, tradisi ini punya nama beda-beda di setiap daerah, tapi prakteknya kurang lebih sama ajaa.
               
    Setelah kapal selesai dibuat, sudah di-cat rapi segala macem, kapal gak boleh langsung diturunin ke laut atau nyentuh air laut sama sekali. Jadi masyarakat Suku Bajo di desa itu bikin pesta dulu nih. Waktu itu di Desa Rajuni Kecil, Kepulauan Selayar, ibu-ibunya bikin ice coconut brown sugar alias dikenal es kelapa gula merah. Merek rame-rame masak jajanan tradisional di bawah kebun kelapa, obrolannya hangat tapi juga kocak, dan mudah-mudahan ga ada yang baper. Jajanan dan minuman itu bakal disajikan buat bapack-bapack yang sudah selesai mendorong kapal ke laut.

    Okay kembali ke prosesi turun kapal. Sebelum kapal diturunkan, salah satu tokoh adat berdo'a di atas sambil nebar-nebarin beras, lalu memukul-mukul badan kapal dengan janur. Singkat cerita, para laki-laki desa langsung bareng-bareng mengerahkan segala tenaga mendorong kapal itu dari lokasi objek selesai dibuat sampai berhasil menyentuh air laut. Makanya mereka kalo bikin kapal ga jauh-jauh dari bibir pantai biar dorongnya ga capek. Dorongnya dibantu pakai tali tambang besar yang ditarik oleh tenaga manusia. Nah yang bikin unik, mereka mendorongnya sambil nyanyi lagu-laguan khas desa supaya semangat dan ga kerasa capenya.
               
    Tradisi ini dilakukan hanya hari Jum'at pagi saja. Alasan pertama, karena hari Jum'at dipercaya hari baik dan penuh berkah (berkah mengiringi kapal yang diturunkan), anyway mayoritas mereka memeluk agama Islam. Kedua, pada hari Jum'at pagi nelayan lagi pada libur melaut, jadi massa yang membantu akan lebih banyak. Oh iya, mereka saling bantu gini tanpa pamrih sama sekali loh, alias ya gotong royong aja. Harmonis sekali bukan? :') Jarang ada hal-hal kayak gini di kota. Nah, kalau kapal sudah berhasil menyentuh air laut, saatnya minum ice coconut brown sugaaarr. Jangan lupa kapalnya ditambatkan di dermaga dan ga boleh digunain dulu selama sehari kalo ga salah. Biarin si kapal kenal laut dulu, adaptasi ceunah.
      
    Nah, siang-siang di pantai, angin sepoi-sepoi, haha hihi sama warga desa, tanpa sinyal, tidak ter-distract gadget, melepas lelah sambil minum ice coconut brown sugar ala Suku Bajo, sungguh suasana aduhai dan mantab kali buat recharge energi. Sore hari di atas jam 3, mereka bersiap untuk kembali ke laut mencari nafkah.

Bajaus, you guys are cool.

BERLAYAR KE UJUNG SELAYAR

Itu Aku menikmati senja dari pinggir Pulau Rajuni, pukul 18.19 WITA. Captured by droner: Ibnu Khoirul Fajar

On our way

         Usai ikuti Ritual Naik Balla di Selayar Darat, esok paginya kami segera lakukan misi Berlayar ke Ujung Selayar. Pagi-pagi sekali kami berangkat sebelum kapal keburu kandas, mumpung cuaca lagi bagus juga. Kapalnya lumayan besar, waktu itu timku ada 5 orang, ditambah 1 orang pendamping dari WWF Indonesia, 2 orang pendamping dari mana lupa, dan 2 nahkoda. Total ada 10 orang yang ikut berlayar. Ternyata, selama perjalanan ke pulau tujuan yaitu Rajuni, Kepulauan Selayar ombaknya lumayan gede walaupun kata nahkoda udah masuk kategori normal. Hujan badai, angin gede pula, wadidaww kapal goyang kapten! Ruang gerak kami pun terbatas, ga bisa naik ke deck kapal atau duduk di luar. Jadinya kami bersepuluh neduh di satu ruangan dalem kapal, ditambah lagi barang-barang kita yang buanyak dan gede-gede. Untung udah sedia minyak angin jadi gak gumoh, walaupun masih sedikit mual. Sebenernya lebih bagus minum ant*mo sebelumnya biar bisa tidur pules selama perjalanan laut. 

          Kapal yang kami naiki persis seperti di bawah ini. Teman, kalau mau coba mengunjungi Taman Nasional Taka Bonerate (TNTB) sebaiknya naik kapal kayu seperti ini atau yang lebih besar, jangan pernah pakai kapal fiber. Kapal fiber bahaya untuk perjalanan jauh karena bisa terbelah kalau terus-terusan menerjang ombak. Jangan lupa juga untuk rikues pelampung sama nahkoda, karena ada kapal yang sediain ada juga yang tidak. Sedikit cerita, kejadian kapal fiber pecah ternyata dialami oleh rombongan lain yang juga menuju TN Taka Bonerate sebelum tim kami. Mereka terombang-ambing di tengah laut menunggu bantuan, tanpa ada sinyal, bahkan ga ada pelampung. Salah satu anggota timnya yang merupakan anak magang punya ponsel jadul, untungnya hp itu masih bisa nangkep sinyal walau cuma dikit-dikit. Dari hp itulah mereka menelfon tim SAR untuk evakuasi. Puji syukur mereka semua selamat.


          Denger cerita itu Aku cuma bisa berdo'a supaya musibah serupa ga menimpa kami. Apalagi itu adalah perjalanan laut terpanjang pertamaku. Sebelumnya Aku pernah beberapa kali naik kapal tapi cuma 1-2 jam, kapal ferry pula jadi ga takut.


Photo isn't mine, but this is how Rajuni's dock look like. Our ship was exactly looked like this.

Desa Rajuni

          Setelah sekitar 5-6 jam perjalanan, sampai juga Kami di dermaga Pulau Rajuni dengan selamat. Suku Bajo yang ramah dan teman-teman TNTB yang bertugas di sana (Bang Ronald dan Bang Ady) sudah menunggu. Kami naik kaisar (sebutan warlok untuk angkutan motor roda tiga) menuju penginapan terbaik di pulau itu. Biaya penginapannya waktu itu Rp100 ribu per orang untuk satu malam, belum termasuk makan dan minum yang disediakan tuan rumah. Namanya juga pulau kecil di tengah luasnya Laut Banda ya kan (silakan search letaknya di google maps), jadi setiap hari lauknya seafood (alhamdulillah Aku suka banget seafood), sayurnya cuma ada daun kelor dan gambas (alhamdulillah Aku ga suka sayur). Air buat mandinya juga payau, kalau sabunan atau keramas ga ada buihnya. Untung sebelum nyebrang kami udah belanja cukup banyak logistik di Selayar Darat termasuk air mineral berdus-dus, jadi sikat gigi bisa pakai air mineral.

Photo isn't mine, but this is how Rajuni coast look like.

         Hari itu kami ga langsung istirahat boro-boro tidur. Kami ngobrol dulu dengan warga lokal sekaligus perangkat desanya soal teknis liputan. Persiapannya seperti apa, keperluannya apa aja, adegannya bagaimana, butuh berapa orang talent, jam berapa, semua harus detail supaya ga ada yang missed. Liputan harus on time karena kami juga punya deadline. Waktu itu kami baru bisa tidur pukul 10 malam.

         Kondisi seperti itu kami lewati selama seminggu, ditambah lagi ga ada sinyal telfon apalagi internet, sama sekali. Tapi tetep enjoy tuh, karena masyarakatnya ramah-ramah; alamnya indah banget; taman bawah lautnya luar biasa keren, as we know TN Taka Bonerate punya kawasan atol ketiga terbesar di dunia setelah Marshall dan Maldives. #BanggaPunyaIndonesia kan. Di sana, Aku dapetin pengalaman diving pertamaku. Aku juga pertama kalinya cobain berenang bareng hiu blacktip di Pulau Tinabo, mengikuti tradisi menurunkan kapal ke laut, masak kuliner tradisional, dan cari ikan bersama nelayan. Sekarang nyesel karena waktu itu Aku ga banyak ambil dokumentasi pribadi gara-gara fokus liputan (yang ada aja dramanya), padahal indah-indah banget. Pengalaman Aku di sana mengesankan semuanya, selengkapnya kuceritakan di artikel-artikel berikutnya. Sampai jumpa kembali, Teman!


Desa Rajuni pukul 08.57 WITA. Aku yang paling kanan pakai celana selutut. Captured by droner: Ibnu Khoirul Fajar

FIRST STOP WITH JEJAK PETUALANG: SELAYAR


Photo isn't mine, but I swear I saw this beautiful Selayar in real life.

Tradisi Unik Naik Balla (Pindah Rumah)

Kami harus maksimalkan waktu transit kami di Selayar Darat. Kebetulan, saat itu kami berada di Kampung Ballabullo, Kecamatan Benteng, sedang ada Tradisi Naik Balla. Naik artinya Pindah, Balla artinya Rumah. Naik Balla punya arti pindah ke rumah baru untuk ditinggali pertama kalinya. Menariknya, ritual itu jadi hajatan istimewa semua warga desa, bukan bagi sang tuan rumah saja. Bagi mereka, rumah bukan sekedar tempat tinggal, melainkan ruang sakral di mana seluruh proses kehidupan berlangsung. Itulah mengapa tradisi ini jadi sangat penting. Keunikan-keunikan seperti ini yang menarik sebagai materi liputan.

Setelah berdoa bersama di rumah lama, kerabat dan tetangga iring-iringan mengantar pemilik hajat ke hunian barunya. Iring-iringan dilakukan jalan kaki, dengan tuan rumah ada di baris paling depan. Kerabat yang mendampingi membawa ragam kuliner tradisional. Makanan yang wajib ada antara lain nasi ketan, pallopo (bubur kacang kenari), dan kue tradisional tujuh rupa. Kenapa harus tujuh? Warlok (warga lokal) menyimbolkan angka tujuh sebagai tanda jadi serta dipercaya bermakna bagus atau pas. Kalau belum tujuh, artinya masih belum ideal.

Sesampai di rumah baru, ternyata kami semua belum boleh masuk dulu. Tetua adat membacakan “mantra” di depan rumah sambil menebar beras hingga ke dalam rumah, sebelum akhirnya kami semua boleh melangkahkan kaki ke teras. Makan bersama pun digelar. Naah... Sajian wajib tadi rasanya harus manis yaa, dengan harapan istana baru itu membuahkan hal-hal manis, baik urusan rumah tangga, rejeki sang pemilik, dan yang pasti terhindar dari musibah. 

Satu jajanan yang menurutku menarik adalah pallopo, karena semua bahannya diproduksi sendiri mulai dari santan tentunya, gula merah, sampai proses pengolahan kacang kenarinya. Makanya, Aku akan jabarkan proses pembuatan pallopo mulai dari petik kenari sampai pallopo siap santap. Mantappp.


How to cook Pallopo

Banyak kuliner tradisional berbahan dasar kenari, salah satunya pallopo. FYI, Selayar Darat dikenal sebagai daerah penghasil kenari. Panen kenari ala masyarakat setempat masih manual banget. Bapak-bapak manjat pohon kenari (bukan panjat sosial) sambil bawa galah, sementara ibu-ibu (yang anjay guys) ngumpulin kenari yang berjatuhan. Si bapak (lupa namanya) udah biasa banget manjat, kelihatan dari cara dia melangkahkan kaki dari satu ranting ke ranting lain santuy parah.  Naah… Kalau sudah terkumpul, kenari dijemur.

Uniknya nih pas dijemur, kambing-kambing warga sengaja dibiarin makan kenari-kenarinya. Ternyata, itu justru mempermudah warlok mengupas kenari nantinya. Kambing suka makan kulit terluar kenari, mungkin karena asem kali yaa jadi seger-seger gitu pas dikunyah. Kalau penasaran, barangkali Fellas bisa coba sendiri hehe. Saat kulit terluar sudah habis alias tinggal sisa batoknya aja, kambing akan auto-melepeh kenari itu.

Proses penjemuran masih berlangsung yaa, biasanya selama 1-2 hari tergantung terik matahari. Kalau sudah kering, barulah batok kenari tadi dikupas. Ramai-ramai di bawah rumah adat Suku Bugis, masyarakat membelah batok yang keras tadi pakai batu dengan cara dipukul-pukul. Kumpulan biji kenari yang sudah terkelupas selanjutnya direbus hingga mendidih, lalu campurkan santan, kemudian gula aren yang mereka produksi sendiri. Aduk-aduk terus sampai mengental, agak lama dan pegel sih karena jumlahnya cukup banyak. Nah karena masaknya bareng bersama ibu-ibu, jadi bisa ngobrol lupain waktu. Daaaan jadilah PALLOPO, kuliner khas Selayar langsung dari alam.

Photo isn't mine, but Pallopo is more like this and tasted so sweet.

NEW JOURNEY BEGAN

Kami di Pulau Gusung, TN Taka Bonerate. Captured by droner: Ibnu Khoirul Fajar

    Aku mengaktifkan kembali Blog ini, unpublished beberapa post lama dan kutambahi dengan yang baru. Kali ini Aku akan ceritakan petualangan pertamaku bersama Jejak Petualang (JP) dalam bentuk tulisan. Kita tahu Jejak Petualang adalah pionir program TV  nasional bergenre adventure. Petualanganku bersama JP dimulai pada Maret 2018, Aku berkesempatan mengunjungi Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.

        Perjalanan dari Jakarta (CGK) ke Makassar (UPG) memakan waktu 2,5 jam jalur udara, lalu dari UPG lanjut naik pesawat kecil menuju Pulau Selayar (SLY) selama kurang lebih 45 menit. Sampai Selayar Darat, kami langsung bertemu dengan teman-teman TN Taka Bonerate untuk briefing soal tujuan dan teknis liputan.

    Esok hari kami berencana untuk lanjutkan perjalanan menuju Pulau Rajuni Besar, yang hanya bisa ditempuh jalur laut. Saat itu kami putuskan untuk carter kapal karena penyeberangan tidak mesti ada setiap hari. Harganya lumayan mahal, yaitu Rp3 juta untuk sewa 5 hari all in. Sayangnya hari itu cuaca buruk, nelayan tidak berani ambil risiko berlayar. Walhasil, kami putuskan untuk jelajahi kearifan lokal masyarakat Selayar Darat terlebih dulu hari itu.

   Okayyy..... Berhubung ceritanya cukup panjang, jadi Aku lanjutin ke post berikutnya ya :) 
Selamat membaca.